Jakarta – Aturan mengenai devisa hasil ekspor (DHE) hasil revisi PP Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019 tak kunjung dirilis pemerintah. Padahal sebelumnya, pemerintah mengatakan aturan tersebut akan keluar di bulan Maret 2023. Terbitnya aturan DHE ini pun menjadi molor dari jadwal.
Saat ditanya akhir Maret lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjanjikan aturan tersebut terbit sebelum Lebaran. Namun hingga saat ini aturan tersebut tidak juga dikeluarkan.
“Dalam waktu dekat kita akan realisasi, Insyaallah sebelum Lebaran kita bisa selesaikan,” kata Airlangga saat ditemui di Istana Negara, Selasa (28/3/2023).
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai molornya jadwal terbit aturan baru DHE ini karena pemerintah tengah menghadapi tantangan berupa ketakutan akan turunnya minat investor dan eksportir melakukan transaksi ekonomi. Padahal menurutnya, ketakutan ini tidak mendasar dan hanya sekadar mitos belaka.
“Tantangan utama dari DHE ini adalah ketakutan tidak berdasar bahwa kebijakan wajib DHE ditanam di dalam negeri akan membuat investor takut, eksportir juga ketakutan. Padahal itu semua mitos,” terangnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (26/4/2023).
Pasalnya, rasa khawatir tersebut mungkin saja dirasakan oleh para investor. Namun menurutnya, rasa ketakutan itu justru tidak perlu dirasakan oleh pemerintah karena seharusnya pemerintah bersikap tegas terhadap hasil ekspor SDA yang memang sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
“Kalau dari persepsi oknum eksportir yang suka memarkir DHE di Singapura tentu mereka was-was, apalagi terkait hasil SDA yang nilainya jumbo. Tapi kalau dari sisi Pemerintah upaya tegas dalam membawa pulang hasil ekspor SDA merupakan taktik yang rasional,” jelasnya.
Seperti diketahui, jika mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 Ayat (2) dan (3) secara tegas diatur bahwa segala bentuk usaha yang diperoleh dari kekayaan alam Indonesia harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Demikian bunyi aturan tersebut
“Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” dan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Untuk itu, Bhima menilai ini menjadi langkah yang rasional bagi pemerintah dalam mendisiplinkan para eksportir yang selama ini tidak memarkirkan dolarnya di Indonesia.
“Sekarang eksportir menjual sawit atau batubara, lahan nya HGU dan IUP milik Negara. Mereka cuma sewa ke pemerintah, lalu hasil dolar ekspornya tidak dikembalikan ke dalam negeri, ini kan kalau dibiarkan artinya Pemerintah juga BI tunduk pada vested interest,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurutnya aturan terbaru DHE yang mewajibkan eksportir SDA memarkirkan dolarnya di Indonesia harus segera diterbitkan. Ia menilai sisa 1 tahun kepemimpinan Presiden Jokowi ini harus benar-benar totalitas dalam mengatur apa yang sudah menjadi hak rakyat Indonesia, yakni hasil ekspor SDA harus digunakan untuk kemakmuran bangsa.
“Dengan hadirnya kewajiban DHE, likuiditas di dalam negeri akan banjir dan itu positif bagi daya tarik investasi. Kalau pemerintah cuma wacana bakal mewajibkan DHE ditanam di perbankan domestik tapi tidak kunjung terealisasi, pemerintah sudah kalah dengan lobi pengemplang devisa atau tekanan asing,” kritiknya.
“Harusnya sisa satu tahun menjabat all out saja buat kebijakan perubahan DHE yang punya legacy jangka panjang,” pungkasnya. (*)