Jakarta – Perusahaan petrokimia asal Amerika Serikat (AS), Air Products and Chemicals Inc., hengkang dari konsorsium hilirisasi batu bara di Indonesia bersama dengan PT Bukit Asam (PTBA) dan PT Pertamina (Persero). Mundurnya perusahaan AS ini menyebabkan tanda tanya besar Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir.
Tak hanya itu, Air Products juga mundur dari proyek hilirisasi batu bara menjadi metanol di Kalimantan Timur bersama dengan perusahaan Group Bakrie yakni PT Bakrie Capital Indonesia Group dan PT Ithaca Resources yang membentuk konsorsium bernama PT Air Products East Kalimantan (PT APEK).
Proyek hilirisasi sendiri merupakan salah satu proyek kebanggaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena digadang-gadang bisa menekan impor Liquefied Petroleum Gas (LPG). Ini pun menjadi salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN).
Melihat hal ini, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir masih bertanya-tanya terkait hengkangnya perusahaan tersebut. Ia mengungkapkan bahwa cabutnya Air Products dari konsorsium tersebut harus dikaji lagi dari sisi konsorsium, industrinya, dan aturan yang memayungi hilirisasi batu bara di Indonesia.
“Itu permasalahan di kami atau di mana? Air products itu mundur karena apa? Karena Pertaminanya, atau karena industrinya berubah, atau karena aturannya belum punya payung. Nah itu mungkin dicek dulu,” ujar Erick, dikutip Rabu (22/3/2023).
Sayangnya, Erick juga belum bisa menyebutkan investor yang nantinya akan menggantikan Air Products yang mundur dari konsorsium tersebut. “Enggak tahu, saya belum bisa,” tandasnya.
Wakil Menteri BUMN, Pahala Mansury menambahkan bahwa sampai dengan saat ini memang belum ada yang menggantikan Air Products, namun sebelumnya Pertamina sudah memiliki MoU dengan 12 pihak.
Sementara Plh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Idris Sihite membeberkan bahwa alasan dari perginya Air Products dari konsorsium hilirisasi batu bara di Indonesia adalah karena perusahaan tersebut akan fokus pada pengembangan blue hydrogen atau hidrogen biru.
Idris menjelaskan bahwa Air Products memilih fokus pada pengembangan hidrogen biru melalui surat keterangannya. Ia juga menyebutkan pemerintahan Amerika Serikat memberikan insentif lebih besar kepada perusahaan untuk mengolah hidrogen biru.
Hal serupa juga disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif. Menurut Arifin keputusan Air Products untuk tidak lagi melanjutkan proyek kerja sama hilirisasi batu bara di Indonesia karena ada beberapa pertimbangan, salah satunya pengembangan bisnis di Amerika lebih menarik ketimbang di Indonesia.
Selain itu, pemerintah Amerika Serikat juga mempunyai penawaran menarik berupa pemberian subsidi. Utamanya untuk pengembangan proyek energi baru dan terbarukan (EBT). “Di Amerika itu dengan adanya subsidi untuk EBT jadi ada proyek yang lebih menarik ke sana untuk hidrogen karena Amerika lagi mendorong untuk pemakaian itu,” jelasnya. (*)