Jakarta – PT Sri Rejeki Isman sudah terkenal di dunia karena kualitas kain dan pakaian yang diproduksi. Sritex sempat mengalami masa kejayaannya namun kemudian kini ambruk disebabkan utang.
Perusahaan ini didirikan oleh (Alm) HM Lukminto dikenal dengan produksi seragam militernya dengan spesifikasi canggih.
Usaha HM Lukminto berawal dari usaha kecil di Pasar Klewer, Solo tahun 1966. Kemudian semakin berkembang dengan mendirikan pabrik cetak pertama yang menghasilkan kain putih dan hitam di Solo pada 1968.
Pada 1978 usaha HM Lukminto ini kemudian terdaftar sebagai Perseroan Terbatas dan empat tahun berselang yakni 1982 mendirikan pabrik tenun pertama.
Pada 1992 pabrik Sritex kemudian dikembangkan. Sritex memperluas pabrik dengan 4 lini produksi yakni pemintalan, penenunan, sentuhan akhir dan busana dalam satu atap.
Sritex kemudian tersohor di seluruh dunia tatkala menjadi produsen seragam militer untuk NATO dan tentara Jerman pada 1994.
Selama sepuluh tahun kemudian Sritex makin bertaji. Mampu lolos dari krisis besar 1998 kemudian bertumbuh berkali kali lipat dari 1994. Akhirnya pada 2013 Sritex resmi terdaftar di Bursa Efek Indonesia dengan kode SRIL.
Sayangnya Sritex mulai karam karena terbentur gunung utang. Utang menumpuk, perdagangan saham dihentikan, terancam delisting pula.
Hingga September 2022, total liabilitas SRIL tercatat US$1,6 miliar atau setara dengan Rp24,66 triliun (kurs=Rp15.500/US$). Jumlah tersebut didominasi oleh utang-utang yang memiliki bunga seperti utang bank dan obligasi.
Utang yang gendut membuat Sritex mengalami “obesitas”. Jumlah utang bank dan obligasi yang dimiliki lebih tinggi dari aset yang dimiliki sehingga mengalami defisit modal.
Defisit modal biasa juga disebut sebagai ekuitas negatif. Emiten yang memiliki ekuitas negatif akan berbahaya bagi investor karena sebagai tanda bahwa perusahaan semakin dekat dengan kebangkrutan.
Jumlah aset yang dimiliki adalah US$1,04 miliar atau Rp16,17 triliun. Jika dibandingkan dengan total utang bank dan obligasi maka terdapat defisit modal sebesar US$320,82 juta atau setara dengan Rp4,97 triliun. Jika total aset tersebut dibandingkan dengan jumlah liabilitas maka terjadi defisit modal sebesar Rp8,49 triliun. (*)