Oleh: H. Achmad Baidowi
Sekretaris Fraksi PPP DPR RI/ Alumni Ponpes Darul Ulum Banyuanyar
Setiap tanggal 1 Juni, kita memperingati hari lahir Pancasila. Pikiran saya langsung menerawang ke Pondok Pesantren Banyuanyar Pamekasan, Madura. Di pondok tersebut, terdapat dua lembaga pendidikan yang dipimpin dua pengasuh berbeda tapi masih satu ikatan keluarga. Yakni Lempaga Pendidikan Islam (LPI) Darul Ulum pimpinan KH. Muhammad Syamsul Arifin dan LPI Al-Hamidy pimpinan KH. Muhammad Rofi’i Baidlowi. Saya tidak mau mengulas dua lembaga pendidikan tersebut, karena selain sudah banyak yang mengupasnya, masyarakat umum khususnya Pamekasan sudah jamak mengetahui keberadaan dua lembaga tersebut.
Dalam konteks Pancasila dengan lambang garuda, saya teringat dua monumen burung garuda yang terpasang di pintu masuk Banyuanyar, baik dari arah timur (Kongberkong) atau dari arah barat (Kramat). Orang Madura menyebut burung garuda dengan sebutan “Nok berrih”. Di era angkutan umum jenis minibus L300 ataupun T 120 jadi primadona, “Nok berrih” di kong berkong menjadi tanda bagi penumpang untuk turun menuju Ponpes Banyuanyar.

Di pertigaan kongberkong, “Nok berrih” berdiri dengan gagah menjulang ke atas awan seolah-olah menunjukkan keperkasaannya dalam mengawal NKRI. Lokasinya di pojok pertigaan, dalam radius 300 meter posisinya akan terlihat dari sudut manapun. Monumen ini menjadi salah satu lokasi favorit bagi para santri untuk berfoto, bukan saja “zaman now” tapi juga “zaman old” ketika media sosial belum menjadi kebutuhan.
Sementara itu, di arah barat, “Nok berrih” terpasang di pintu masuk kompleks pondok pesantren. Lokasinya agak terselip di rerimbunan pohon. Bagi yang tak terbiasa melintas tidak akan menyadari akan adanya monumen tersebut. Letaknya berada di pojok eks gudang tembakau yang dibangun alm. KH. Abdul Hamid Baqir (Pengasuh LPI Darul Ulum Banyuanyar). Karena letaknya sedikit tersembunyi, tidak banyak santri yang berfoto di lokasi ini kecuali mereka yang hobi fotografi.
Saya pun tergelitik untuk mencari tahu musabab dua monumen burung garuda tersebut dipasang di areal Ponpes Banyuanyar. Sepanjang pengalaman saya berkunjung ke sejumlah pondok pesantren belum menemukan situasi serupa. Konon dua monumen tersebut merupakan hadiah dari Pangkopkamtib era tahun 1970-an, Jenderal Sudomo yang berkunjung ke Banyuanyar untuk bersilaturahmi dengan KH. Abdul Hamid Baqir. Saat itu masih hangat-hangatnya penerapan azas tunggal oleh rezim Orde Baru. Maksud dan tujuan pemasangan monumen tersebut antara lain sebagai penghargaan kepada alm KH. Baqir atas jiwa patriotismenya yang turut serta berjuang melawan penjajah Belanda. Selain itu, sebagai bukti bahwa pondok pesantren berada di garda terdepan dalam membela NKRI.
Pancasila merupakan falsafah hidup bersama yang digali dari nilai-nilai agama (Islam) dan nilai sosial budaya Indonesia. Pondok pesantren menyadari hal tersebut karena perumus teks Pancasila juga terdiri dari perwakilan kaum santri. Kerelaan menghilangkan 7 kata dalam piagam Jakarta dalam teks Pancasila merupakan pengorbanan besar dari umat Islam untuk Indonesia.
Satu hal lagi yang perlu diteladani dalam kepemimpinan alm. KH. Baqir yakni keberanian menerima kunjungan Sudomo yang saat itu memeluk agama Kristen. Selain mengajarkan toleransi, KH. Baqir juga ingin mendudukkan persoalan secara proporsional, yakni menghormati Sudomo sebagai pejabat negara. Indonesia bukanlah negara Islam, maka setiap pejabat negara pun harus dihormati dalam kapasitas sebagai pemimpin institusi negara. Mungkin karena barokah Ponpes Banyuanyar, pada tahun 1997 Sudomo kembali memeluk Islam.
Selain itu, di Ponpes Banyuanyar juga ditemukan semacam piagam “Tri Sakti P.P.B”. Isi piagam itu tentang pegangan dan tindak-tanduk santri sebagai warga negara dan bangsa yang baik, serta untuk pengejawantahan dari pandangan hidupnya. Pertama, langkah dan tindak-tanduk: minimal NEGARA jangan sampai rugi, PANCASILA jangan sampai terongrong dan RAKYAT jangan sampai tersakiti; maksimal harus menguntungkan ketiga-tiganya. Kedua, panca bakti, yaitu cakap, rajin, jujur, taat dan ikhlas. Ketiga, minimal 4 (empat) A (Agama, Akhlak, Ahli dan Amal).
Kini, estafet kepemimpinan LPI Darul Ulum Banyuanyar dipegang KH. Hasbullah, putra dari KH. Muhammad Syamsul Arifin (menantu sekaligus santri terbaik KH. Baqir). Secara nasab KH. Muhammad masih ada ikatan kekerabatan dengan KH. Baqir. Saat ini pun, KH. Muhammad selalu mengajarkan kepada para santrinya bagaimana memperlakukan pejabat negara khususnya yang berkunjung untuk silaturahmi ke pondok pesantren. “Jangankan sesama muslim, dengan nonmusmim pun jika mau silaturahmi dengan tulus harus kita terima, siapa tahu nanti bisa mendapat hidayah dan barokah. Apalagi yang mau silaturahmi adalah pejabat negara, elit negeri dan muslim tentu tidak ada alasan untuk menolaknya,” begitu yang KH Muhammad selalu sampaikan kepada kami para santrinya.
Menutup tulisan ini, ternyata memaknai dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila tidaklah perlu njlimet dan berbelit. Saya pun selama lima tahun belajar Pancasila dari Ponpes Banyuanyar. Selamat memperingati “Hari Lahir Pancasila”.