Penulis: Achmad Baidowi
Mahasiswa S3 Ilmu Pemerintahan IPDN
Akhirnya, Indonesia menjadi salah satu negara yang harus berjibaku dengan covid-19. Setelah, pemerintah sempat merasa yakin bahwa virus yang berasal dari Wuhan China tersebut sulit hidup di Indonesia karena perbedaan cuaca, namun sejak awal Maret 2020 asumsi itu buyar.
Kasus pertama muncul dua orang WNI terpapar virus mematikan dari koleganya seorang WNA Jepang yang bekerja di Malaysia. Tragisnya, dua pasien pertama Covid-19 itu diketahui bukan dari hasil deteksi tim kesehatan RI, melainkan hasil dari deteksi pihak berwenang Malaysia, setelah WNA tersebut kembali dari Indonesia.
Jadi saat masuk dan keluar dari bandara Internasional Jakarta, pembawa virus sama sekali tidak terdeksi dan dinyatakan baik-baik saja. Tidak bisa dibayangkan jika WNA tersebut menggunakan perjalanan darat dan laut, yang sudah pasti kontrol kesehatannya lebih longgar. Tentu akan lebih banyak lagi yang terpapar.
Begitu Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan adanya korban pertama dari virus covid-19, maka dalam waktu segera, kehidupan masyarakat Indonesia berubah. Istilah social distancing, physical distancing yang dalam bahasa sederhananya adalah jaga jarak menjadi tren baru di masyarakat. Pola bekerja, belajar dan beribadah dari rumah mulai digalakkan.
Pola relasi sosial di sejumlah kota-kota besar berubah. Pertemuan fisik diganti dengan pertemuan virtual yang dengan sendirinya bisnis di jasa telekomunikasi-informasi mendapatkan keuntungan.
Protokol kesehatan ditegakkan. Untuk melihat orang bersalaman sebagaimana lazimnya budaya timur, amat sulit ditemukan. Setiap ruangan pertemuan tidak boleh lebih dari 20 orang berkumpul. Roda perekonomian pun lumpuh, tempat nongkrong sepi, mall banyak yang tutup, perkantoran ditutup, rumah makan diarahkan pelayanan take away (tidak makan di tempat). Bahkan DPR pun menghapus kegiatan kunjungan kerja lapangan dengan menggantikannya rapat virtual.
Ada sesuatu yang hilang dalam tata sosial masyarakat perkotaan. Tentu hal ini berbeda dengan masyarakat di daerah pedesaan. Meskipun mengetahui adanya covid-19 serta adanya kebijakan pembatasan sosial, namun masyarakat pedesaan banyak menganggap sebagai angin lalu.
Di beberapa pusat konsentrasi massa seperti masjid, pasar maupun taman, aktivitas tetap normal. Mereka berdalih lebih takut kelaparan daripada takut covid-19. Dan memang faktanya, di pedesaan lebih banyak yang sehat, hal ini tak lepas dari sirkulasi udara dan pola hidup sehat dari masyarakatnya.
Suasana kontras tersebut semakin terlihat ketika sejumlah orang kota memilih pulang kampung. Orang kota terlihat lebih takut berinteraksi meskipun sudah dilengkapi dengan masker, handwash maupun handsanitizer. Sementara penduduk desa tampak cuek bahkan terkadang merasa risih jika harus memakai masker apalagi “dilarang” jabat tangan.
Pandemi Covid-19 juga berpengaruh terhadap ritus keagamaan masyarakat. Himbauan ibadah di rumah membuat suasana Ramadan di sejumlah masjid di kota tak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Tentu hal ini juga akan berpengaruh pada perayaan idul fitri yang hiruk-pikuknya akan berkurang.
Tradisi buka puasa bersama, halal bihalal di daerah perkotaan ditiadakan, semuanya diarahkan secara virtual. Suasana guyub-rukun dalam bingkai silaturahmi itu untuk sementara waktu menepi. Belum lagi larangan mudik -jika diberlakukan ketat- juga akan berpengaruh terhadap suasana Idul Fitri di pedesaan. Peredaran mobil pribadi dengan pelat nomor kota-kota besar yang memenuhi ruas jalan pedalaman, akan jauh berkurang. Tradisi sungkeman kepada orang tua, sanak famili maupun tradisi silaturahmi antar rumah juga akan berkurang bahkan mungkin tidak ada. Paling tidak untuk tahun ini, ada permakluman jika kehidupan sosial masyarakat mengalami pergeseran. Jika pandemi ini tidak segera berakhir, maka struktur sosial-ekonomi masyarakat akan berubah drastis.(*)