Indahnya Berpuasa 18 Jam di Negara Bekas Komunis

Penulis: Achmad Baidowi (Anggota Baleg DPR RI/Fraksi PPP)

Tak terasa pesawat Turkish Airilne yang membawa kami selama kurang lebih tiga jam dari Istanbul Airport akan segera mendarat di Bandara Vnukovo Moskow, Rusia. Begitu mendengar kata Moskow, langsung yang terngiang adalah wajah-wajah dingin yang minim senyum. Setidaknya seperti yang tergambar dalam film-film penuh intrik produksi Hollywood yang selalu menempatkan pihak Rusia sebagai musuh.

Kesan angker itu semakin terlihat ketika kami tertahan sekitar 45 menit di counter imigrasi. Ternyata nasib sial juga menimpa teman dari Afrika Selatan yang juga baru pertama kali menjejakkan kakinya di Moskow. Terlihat juga ibu-ibu berjilbab juga tertahan dalam waktu yang cukup lama. Sempat terbesit dalam pikiran apakah negera ini masih apriori terhadap Islam?

Beberapa pertanyaan diajukan oleh petugas imigrasi yang menghampiri kami. Pertanyaannya standar saja, berapa lama di Moskow? Tinggal dimana? Tujuan kemana saja? Punya urusan apa? Setelah itu, kami pun bisa lolos dari gate imigrasi setelah menyisakan sekitar empat orang yang masih tertahan termasuk kawan dari Afrika Selatan dan ibu-ibu berjilbab tadi. Seingat kami, hanya tinggal satu pintu counter imigrasi yang buka, selebihnya sudah ditinggalkan petugas begitu semua penumpang sudah selesai melewati pemeriksaan.

Lamanya proses pemeriksaan tersebut membuat, Angga, mahasiswa asal Indonesia yang menjemput kami sempat waswas. Informasi dari mahasiswa jurusan manajemen kereta api ini menjelaskam bahwa tidak biasanya pemeriksaan di imigrasi berlangsung lama, apalagi masuk menggunakan paspor dinas bebas visa. Dia pun menduga hal itu sengaja diberlakukan bagi orang yang pertama kali masuk Moskow sehingga tetap menimbulkan kesan ketat dan “angker”.

Begitu memasuki kota Moskow sisa peninggalan rezim komunisme masih berdiri kokoh. Diantaranya Seven Building Stalin, yakni tujuh bangunan serupa tapi tak sama dibangun di era kepemimpinan Josept Stalin yang tersebar di beberapa sudut kota. Arsitektur bangunanya pun sama mirip gereja katerdal ortodoks. Di bagian atas lambang palu arit masih terpampang gagah. Meskipun Rusia tak lagi menganut komunisme pasca bubarnya Uni Soviet tapi pemerintah setempat masih menjaga situs-situs sejarah sebagai bagian kelanjutan dari perjalanan bangsa Rusia.

Begitupun di tempat publik seperti Gorky Park yang namanya disebut dalam lirik lagu Wind of Change oleh grup band asal Jerman Scorpion. Di pilar pintu gerbang taman luas tersebut logo palu arit terpasang dengan kokoh. Pun demikian di gedung parlemen yang bersebalahan dengan red square dan Kremlin, logo palu arit cukup besar terpasang di bagian depan. Belum lagi patung Vladimir Lenin sebagai pengagum Marxisme dan pencetus ajaran Leninisme menjadi saksi sejarah bahwa ideologi komunis pernah berkuasa cukup kuat di negara ini. Namun, sejak runtuhnya Uni Soviet, komunisme hanyalah menjadi bagian sejarah masa lalu di negara terluas di dunia ini.

Dari cerita Angga pula kami mengetahui bahwa geliat keagamaan masyarakat Moskow mulai tampak. Agama terbesar yang dianut warga Rusia adalah Kristen Ortodoks yakni sekitar 41% dari jumlah penduduk. Dengan mudah kami lihat gereja-gereja dengan kubah di bagian atas mudah ditemukan. Sepintas kami mengira gereja-gereja tersebut merupakan Masjid lazimnya di Nusantara. Sementara Islam merupakan agama terbesar kedua di negeri ini dengan populasi mencapai 6,5%.

Berita Terkait:  Covid 19 Mengubah Tatanan Sosial

Mayoritas pemeluk Islam adalah warga Rusia keturunan Kazakhstan, Tajikistan, Uzbekistan yang dulunya masih menjadi bagian Uni Soviet. Kota Kazan merupakan populasi Islam terbesar di Rusia. Menurut Lembaga Islam Rusia, jumlah penduduk muslim di Moskow sudah mencapai lebih dari 2 juta jiwa dari total penduduknya 11,6 juta. Artinya, 20% dari total penduduk Moskow merupakan penduduk muslim.

Meskipun penduduk muslim di Moskow sudah mencapai lebih dari 2 juta orang, Namun, hingga tahun 2012 lalu, kota Moskow hanya memiliki 4 masjid yaitu : Moscow Historical Mosque yang dibangun pada tahun 1823, Moscow Cathedral Mosque yang dibangun pada tahun 1903, Yardem Mosque yang dibangun pada tahun 1997, dan Moscow Memorial Mosque yang dibangun pada tahun 1997.

4 Masjid untuk melayani lebih dari 2 juta orang memang sangat tidak memadai, namun hal tersebut memang terpaksa harus dilakukan demi terjaganya kerukunan umat beragama di sana. Karena beberapa rencana pembangunan masjid baru mendapatkan protes keras dari penduduk non-muslim disana. Jadi sudah tidak mengherankan jika melihat pemandangan sholat berjamaah, terutama pada hari raya, yang memadati masjid ini hingga ke jalan raya.

Kami hanya sempat singgah di Historical Mosque untuk menunaikan ibadah shalat Tarawih dan Moscow Katedral Mosque untuk menunaikan ibadah sholat dhuhur. Moscow Historical Mosque atau jika dalam bahasa Indonesia berarti Masjid Sejarah memang menjadi masjid tertua di kota ini, karena dibangun pada tahun 1823. Selain itu, masjid ini juga menjadi masjid terbesar kedua setelah Masjid Cathedral di Moskow. Masjid ini juga berdekatan dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia Untuk Moskow di Novokuznetskaya Ulitsa, yaitu sekitar 100 meter ke sebelah timur.

Sementara Moscow Cathedral Mosque atau Masjid Katedral Moskow adalah masjid utama di Rusia. Dibangun tahun 1904 sesuai rancangan arsitek Nikolay Zhukov dan sekarang menjalani pembangunan ulang. Masjid ini juga dijuluki “Masjid Tatar” karena didominasi oleh arsitektur Tatar.

Masjid ini merupakan masjid tertua kedua di kota Moskow setelah Moscow Historical Mosque (1828) di 28 Bolshaya Tatarskaya Strett. Sebuah masjid yang sangat klasik lengkap dengan kubah besar dan menara. Keseluruhan dana pembangunan masjid ini ditanggung sendiri oleh saudagar muslim kota Moskow bernama Saleh Yusupovich Erzin.

Masjid diresmikan oleh Presiden Russia Vladimir Putin pada 23 September 2015. Turut hadir pula dalam acara tersebut Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas juga dalam acara peresmian tersebut. Masjid ini mampu menampung 10.000 jamaah dan disebut sebagai masjid terbesar di Eropa.

Muslim di Moskow memiliki tantangan tersendiri saat bulan Ramadhan. Mereka berpuasa selama hampir 18 jam, bahkan juga sampai 22 jam tak seperti di Indonesia yang hanya sekitar 13 jam. Namun demikian, karena cuaca kisaran 15 derajat celcius, berpuasa selama 18 jam masih terlaksana dengan baik. Muslim di Moscow mayoritas beraliran Sunni. Tarawih dan witir bervariasi ada yang 11 rakaat dan ada yang 23 rakaat.

Di Historical Mosque menjalankan tarawih dan witir 11 rakaat. Menjelang waktu Isya’ jamaah khususnya laki-laki mulai memenuhi Masjid bahkan antrean di tempat wudlu’ cukup panjang. Sementara jamaah perempuan tidak terlalu banyak dan tidak perlu memakai mukena seperti muslimah di Indonesia. Mereka cukup menggunakan baju panjang tertutup yang terpenting menutupi aurat. Jangan dibayangkan adzan berkumandang selayaknya di Indonesia. Adzan hanya disiarkan melalui pengeras suara internal. Setiap usai shalat tarawih dikahiri dengan salaman hampir ke semua jamaah. Para jamaah secara bergantian menyalami imam dan muadzin lalu berdiri di sampingnya untuk bisa bersalaman dengan jamaah di belakangnya. Begitu seterusnya hingga antrean tuntas.

Berita Terkait:  Marjinalisasi Ulama Pada Pemilihan Bupati Sumenep 2020

Selain sebagai tempat ibadah, masjid di Moskow seringkali menjadi tujuan wisata religi bagi mereka yang ingin mengetahui perkembangan syiar Islam. Bahkan, pengelola menyiapkan baju khusus seperti jas hujan model kelelawar yang diperuntukkan bagi pengunjung perempuan tak berjilbab.

Bagi warga Rusia, Indonesia memiliki makna tersendiri terutama sosok Bung Karno. Sebagaimana diceritakan Duta Besar Indonesia untuk Federasi Rusia merangkap Republik Belarus Mohamad Wahid Supriyadi kepada kami di KBRI. Saat itu, kenang dia, dirinya terkejut ketika diperkenalkan kepada dua orang anak yang sama-sama bernama Sukarno. Perkenalan itu berlangsung di sela kunjungannya di Republik Dagestan, Rusia, pada maret lalu.

Sukarno Kamilevich (Sukarno bin Kamil) dan Sukarno Magomedovich (Sukarno bin Muhammad), begitu keduanya diperkenalkan kepada Wahid oleh Ibrahim Abdulaev, Kepala Pusat Nusantara, saat Wahid akan meresmikan pusat studi mengenai Indonesia itu. Ayah mereka, Kamil Sukarnoevich dan Magomed Gashimovich (Muhammad bin Hasim) adalah saudara sepupu. Kedua anak yang masing-masing berusia 12 dan 10 tahun itu memang sengaja diundang Ibrahim untuk dipertemukan dengan Wahid.

Ibrahim menceritakan, bahwa penamaan ini adalah warisan kekaguman sang kakek buyut terhadap keteladanan Soekarno, yang ia abadikan dengan menamai keturunanya, dan masih terawat hingga kini.

Keteladanan dari seorang Soekarno membekas begitu dalam dan tertanam kuat pada diri Musa Gashimovich, Ketua Kelompok Tani (Kolkhoz) asal Dagestan. Meski tak berkenalan secara langsung, sosok Soekarno ia kenal saat mengikuti sidang Komite Sentral Partai Komunis Uni Soviet di Kremlin, Moskow, pada Juni 1961. Selain dihadiri berbagai kalangan dan tokoh dari seantero Negeri Beruang Merah, pertemuan itu juga dihadiri beberapa pimpinan berbagai negara, termasuk Soekarno.

Tengah hari, ketika sidang masih berlangsung Soekarno tiba-tiba berdiri dan meminta ijin meninggalkan ruangan kepada Sekjen Partai Komunis Nikita Khrushchev untuk melaksanakan shalat Dzuhur. Nikita pun mempersilahkan Soekarno meninggalkan ruangan. Hal itu membuat Musa terkejut dan seolah tak percaya akan apa yang baru saja ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri. Bagaimana bisa seseorang diperbolehkan beribadah, sementara segala kegiatan beragama merupakan kegiatan terlarang pada zaman Soviet. Jika pun ada, dilakukan secara diam-diam dengan resiko yang tak ringan jika tertangkap basah. Dari situlah kekaguman terhadap Soekarno mulai tumbuh dan mengakar pada Musa.

Setahun kemudian istri Musa melahirkan seorang putera, dan dengan bekal kekaguman yang ia bawa dari ibu kota, ia pun dengan bangga menyematkan nama Soekarno pada sang putra — Sukarno Musaevich (Sukarno bin Musa) — Ayah Kamil. Musa sempat menulis surat kepada Kedutaan Besar RI Moskow untuk meminta izin menggunakan nama sang presiden, tetapi tak pernah mendapat balasan. Keajaiban yang disaksikan Musa di Kremlin kemungkinan diceritakan turun-temurun di lingkungan keluarganya sehingga kini nama Sukarno masih tersemat pada sang cicit.

Berita Terkait:  Memaknai Pancasila dari Ponpes Banyuanyar

Menurut Wahid, nama Soekarno masih banyak dikenal oleh generasi tua hingga saat ini, terutama di kota-kota yang pernah dikunjungi Presiden Soekarno seperti di Moskow, Saint Petersburg, Yekaterinburg, Sochi dan Samarkand yang kini merupakan wilayah Uzbekistan.

Di Moskow, Soekarno mengunjungi Masjid Agung yang saat itu masih sangat kecil dan fotonya masih tersimpan di salah satu masjid terbesar di Rusia dan di Eropa itu. Di Dalam kunjungannya pada 1956 di Leningrad — kini Sankt Peterburg, Soekarno meminta Nikita Khrushchev agar mengizinkan Masjid Biru yang saat itu difungsikan sebagai gudang dikembalikan fungsinya sebagai tempat ibadah umat Islam.

Khrushchev pun mengijinkannya masjid itu kembali dibuka sepuluh hari setelah kunjungan Soekarno. Imam Masjid Biru Cafer Nasibullahoglu pun mengakui jasa Soekarno itu. Wahid juga menyinggung cerita tentang makam Imam Bukhari. Walaupun tidak ada sumber sejarah resmi, menurutnya masyarakat Samarkand sampai saat ini meyakini bahwa makam Imam Bukhari dibangun oleh Uni Soviet atas pengaruh Soekarno. Wahid menambahkan, penemuan makam Imam Bukhari konon menjadi syarat kesediaan Soekarno memenuhi undangan Khruschev ke Soviet. Khruschev pun memenuhinya sehingga Soekarno dapat mengunjungi makam tersebut dengan perjalanan kereta api yang ditempuh sekitar 3 hari dalam rangkaian kunjungannya pertamanya di Soviet. Cerita yang disampaikan Wahid tersebit juga pernah tertuang dalam tulisan Beyond Russia dalam https://id.rbth.com.

Masih banyak tentang pernik-pernik Islam yang bisa diulas di bekas negara komunis ini. Tak terasa pukul 20.35 waktu setempat, tibalah saatnya berbuka puasa. Kami pun dengan antusias menyambutnya, maklum kami hari itu memulai puasa sejak Subuh pukul 02.15 waktu setempat. Kami harus memaksimalkan waktu, mengingat waktu sholat Isya’ pukul 22.10 waktu setempat dan dilanjutkan tarawih hingga pukul 23.30 waktu setempat. Praktis hanya ada waktu kurang dari tiga jam untuk bersantap sahur. Tak perlu khawatir akan kehilangan selera makan karena banyak restoran Asia di kota ini. Mencari nasi pun tak sesusah kota besar lainnya di Eropa. Apalagi santapan sahur kami dimasak oleh para mahasiswa yang belajar di Moskow sehingga lidah nusantara tak kehilangan selera. Satu-satunya kekurangan di Moskow yakni sedikitnya warga yang bisa berbahasa Inggris termasuk di pusat perbelanjaan sekalipun. Tak heran jika kami sering pake bahasa tarzan untuk sekedar bertanya barang kebutuhan seperti air, roti, susu maupun vitamin. Bisa saja ini bagian dari tingginya ego warga terhadap bahasa nasionalnya, seperti halnya di Paris, Bogota maupun Istanbul yang sangat jarang warga bisa berbahasa Inggris padahal kota ity menjadi salah satu kota wisata dunia.

Di balik keterbatasan komunikasi, kami tetap bisa menjalankan ibadah puasa dengan lancar. Itulah indahnya berpuasa 18 jam di negara bekas komunis. Semoga jejak-jejak Islam terus berkibar di belahan dunia lainnya. Amiin

Related Articles

Tinggalkan Komentar

Stay Connected

0FansSuka
24PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img

Latest Articles

%d blogger menyukai ini: